Jumat, November 02, 2012
di
08.40
|
kenapa perang lampung harus terjadi apa yang menyebabkanya??
Lampung sebagai provinsi memiliki keistimewaan.
Keistimewaannya itu karena Lampung
adalah provinsi satu-satunya di Indonesia yang bisa disebut ‘tanah
moyangnya’ kedua orang Jawa.
Kok bisa?
Ya, karena Lampung yang berpenduduk
7.608.405 jiwa sesuai sensus penduduk 2010, sekitar 70 persen beretnis
Jawa atau keturunannya. Sisanya, sekitar 20 persen penduduk asli
Lampung, dan 10 persennya campuran dari berbagai suku seperti Semendo,
Bali, Lombok, Minang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Aceh,
Makassar, China dan Arab.
Itulah sebabnya Lampung boleh disebut sebagai Blangkon Sumatera – Tanah Sumatera tapi berbudaya Jawa.
Namun, beberapa hari terakhir ini,
Lampung, khususnya di bagian selatan, sedang menangis. Penduduk
antardesa berbeda suku, antara penduduk asli Lampung dan Bali sedang
berkonflik fisik. Data terakhir menunjukkan, sembilan orang sudah tewas
dan seratusan rumah dibakar. Ratusan kepala keluarga mengungsi.
Presiden pun sampai prihatin dan turun
tangan memerintahkan pejabat terasnya untuk mengendalikan perang
antarsuku Lampung melawan Bali.
Sentimen suku warisan kolonial penjajah masih berlangsung di Bumi Lampung.
Konflik antarsuku, khususnya pendatang dan asli ini bukan datang sendirinya.
Sebagai salah satu provinsi tujuan
transmigrasi terbesar mulai kolonial Belanda hingga Orde Baru, Lampung,
adalah daerah yang paling banyak memiliki keragaman suku di Indonesia.
Bahkan, Lampung bisa disebut Pulau Jawa
kedua, karena di sana penduduk etnis Jawa dengan segala budayanya
menguasai dari empat mata angin, dari kampung hingga kota.
Datangnya gelombang suku lain ke Lampung
pada Orde Baru ini lewat program transmigrasi, memicu pertentangan
paham antara penduduk pendatang dan asli.
Pada tahun 1970-an, perkampungan
transmigrasi di Lampung Tengah, misalnya, sering berlangsung perang suku
antara Jawa dan Lampung asli. Bahkan perang itu masih berlangsung
sampai sekarang.
Pemicunya sepele, mulai dari urusan kejahatan jalanan, pencurian, hingga asmara.
Setiap ada kejahatan, penduduk berbeda
suku ini selalu mengaitkannya dengan suku mereka, karena rasa dan
pikiran mereka sudah terbangun hidup penuh sentimen. Meski sudah
bersekolah tinggi, keinginan untuk menguasai atau merendahkan suku
lainnya masih terlihat di Lampung.
Inilah yang kemudian memancing lahirnya perang suku seperti antara Bali dan Lampung di Lampung Selatan belakangan ini.
Perang antarsuku bukan hanya didominiasi
antara Jawa dan Lampung, namun juga oleh Bali. Ketiga suku ini memang
menjadi kekuatan terbesar penduduk Lampung sekarang, walau Jawa masih
yang dominan.
Keberadaan pendatang, khusunya suku
Bali, memang sering mendatangkan sentimen dari suku asli, karena suku
Bali ini biasanya mengeksklusifkan diri. Mereka membangun desa
menyerupai kampung asal mereka di Bali, lengkap dengan pusat ibadah dan
kebudayaannya.
Berbeda dengan suku Jawa, yang lebih
terbuka dan tidak terlalu eksklusif mengusung kebudayaan leluhur mereka
secara nyata. Dengan begitu, desa Jawa masih bisa diakses oleh penduduk
asli, bahkan mereka masih berinteraksi lebih lentur.
Di sisi lain, penduduk asli Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang
berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk
berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring waktu
falsafah hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal.
Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap
sangat baik kepada pendatang. Mereka menyambut pendatang dengan baik,
tetapi pendatang sering menyulut amarah penduduk asli. Sebagai tuan
rumah, suku asli lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka
merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan
masalah “harga diri”.
Konlik demi konflik antar suku
ini, lahirlah dendam besar yang mengkristal. Bahkan menjadi gumpalan
yang merasuk ke jiwa mereka, bahwa suku lain adalah lawan!
Generasi muda Lampung sejak dini sudah
diajarkan secara alamiah untuk tidak membaur dengan suku lainnya. Saling
merendahkan antarsuku dimulai.
Misalnya anak–anak suku Bali tidak mau
bermaini dengan anak–anak suku lainnya begitu juga dengan anak – anak
dari suku Jawa maupun Lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan
suku mereka sehingga jika di antara kelompok tersebut terjadi
perselisihan tentunya akan melibatkan suku mereka.
Diposting oleh
Unknown
1 komentar:
Astagfirulloh haladzim..... Semoga hal serupa tak akan terulang lagi di provinsi yg multi suku
Posting Komentar